Monday, September 26, 2011

Jika Beda Selera dalam Bercinta


"Saya kesel sekali kalau pagi-pagi dibangunin cuma untuk diajak berhubungan. Kayaknya suami saya suka sekali berhubungan pada pagi buta. Padahal, saya, kan masih ngantuk. Belum lagi nanti saya harus ke kantor, tetapi suami sama sekali enggak pengertian," keluh seorang istri.


Anda mungkin pernah punya pengalaman serupa. Pasangan Anda mengajak berhubungan intim pada waktu-waktu yang tak Anda inginkan. Atau, ia meminta Anda melakukan posisi tertentu, sementara Anda sama sekali tak suka dengan posisi itu. Atau, Anda maunya berhubungan dalam keadaan gelap-gulita, sementara si pasangan lebih suka terang benderang. Dan masih banyak lagi perbedaan-perbedaan yang kerap terjadi dalam kehidupan seksual suami-istri.

Sebenarnya, perbedaan ini wajar-wajar saja. Sebagaimana halnya perbedaan lain yang umum terjadi dalam kehidupan perkawinan, seperti selera makan dan berbusana, hobi, minat, kebiasaan sehari-hari, dan mendidik anak. Justru dengan adanya perbedaan-perbedaan itu, suami dan istri jadi dapat lebih mengenal dan memahami pasangannya. Begitu pun perbedaan dalam soal selera bercinta.

Kendati demikian, jika soal beda selera ini tak menemukan titik temu, bisa-bisa hubungan intim lantas menjadi kegiatan yang dipaksakan. Ujung-ujungnya, keharmonisan rumah tangga pun bisa terganggu.

Diskriminasi suami-istri
Menurut seksolog Prof Dr J Alex Pangkahila, sebagian besar pasangan suami istri (pasutri) mengidamkan mutu perkawinan yang bahagia, tetapi tak satu pun yang memimpikan bagaimana menciptakan suasana erotis. "Sebagian besar dari mereka hanya tahu bahwa hubungan intim pada pasutri semata hanya proses masuknya alat kelamin pria pada vagina," ujar Alex. Padahal, lanjutnya, yang diharapkan pasutri, khususnya wanita, ialah kemesraan dalam bercinta.

Beberapa ahli mengatakan, jika tak dipupuk dengan baik, bercinta hanya mampu bertahan selama empat tahun perkawinan. "Sesudah empat tahun, sering terjadi kejenuhan. Mulai timbul masalah dalam hubungan intim dan timbul perbedaan yang sulit ditolerir," terang Alex.

Hanya, masalah ini tak dimunculkan pasutri karena pengaruh lingkungan agamais dan adat yang kuat. "Secara turun-temurun dipercaya oleh masyarakat bahwa perkawinan merupakan penyerahan istri untuk hubungan seksual dan istri tak pernah mengambil inisiatif untuk minta bermesraan dengan suami," sambungnya.

Dalam bahasa lain, sejak semula sudah ada diskriminasi antara suami dan istri dalam menikmati hubungan intim meski akhirnya sebagian pasutri menikah dengan dasar cinta, kata Alex, "Tapi, ternyata tak selamanya cinta akan membuahkan hubungan intim yang harmonis."

Karena itu, Alex menekankan, cobalah untuk menanyakan pada diri Anda, apakah Anda cukup akrab dengan pasangan yang Anda cintai? Sebab, "Dari keakraban ini, suami dan istri akan mengetahui bagaimana pikiran, emosi, dan seksualitas pasangannya. Juga, akan diketahui adanya perbedaan keinginan antara diri dan pasangannya," tutur doktor lulusan Universitas Airlangga Surabaya dengan predikat sangat memuaskan ini.

Apalagi, sambung Alex, hubungan pasutri harus memiliki reciprocity (timbal balik) atau take and give. "Hubungan intim yang hanya badaniah nilainya kurang bila tak disertai pikiran dan emosi. Hubungan intim semacam ini hanya betul-betul hubungan badan, bukan hubungan intim," kata ahli seksologi kedokteran dari Institute of Family and Sexological Sciences di Leuven, Belgia, (1983) ini.

Wanita menginginkan intimasi

Sebenarnya, kata Alex, semua perbedaan dapat diatasi asal pasutri betul-betul melakukan hubungan intim sesuai dengan prosesnya. Nah, proses hubungan intim yang baik ini harus melalui beberapa tahapan. Di antaranya, bercumbu (romance), perabaan (sensuality), pemijatan (sexuality), dan yang terakhir ialah hubungan seksual yang sebenarnya (sex).

"Yang prinsip justru bagaimana menyamakan persepsi bahwa hubungan intim sebenarnya bukan hanya soal masuknya penis ke vagina," ujar Alex.

Dari pengalaman praktiknya, Alex menemukan, perbedaan kehidupan seksual pada pasutri lebih banyak disebabkan para suami ingin segera melakukan hubungan intim yang sebenarnya, yakni ingin segera memasukkan penis ke vagina, sedangkan wanita lebih menyukai melakukan hubungan intim dari proses awal, yaitu bercumbu.

"Ini memang bisa dimaklumi sebab perubahan fisiologis pada wanita dari fase tak terangsang menjadi fase terangsang perlu waktu lebih lama dibandingkan dengan pria," terangnya. Hanya saja, perbedaan ini akan mengakibatkan ketidakseimbangan kenikmatan yang dialami pasutri, di mana umumnya wanitalah yang menderita.

Selain itu, masih ada kemungkinan terjadi perubahan perilaku seksual pada pasutri. "Biasanya ini merupakan suatu variasi, misalnya karena jenuh dengan posisi yang itu-itu saja," tutur Alex. Namun, toh, hal ini tetap tak mengubah proses yang baku tadi. "Perubahan variasi wajar-wajar saja sebab proses ini akan diperkaya dengan proses belajar, baik dari pengetahuan maupun dari pengalaman melakukan hubungan intim secara rutin kepada pasangan," papar guru besar tetap di bidang fisiologi kedokteran Universitas Udayana sejak 1994 ini.

Sementara perbedaan yang tak prinsip dapat diatasi dengan melakukan latihan penyesuaian atau kondisioning. Penanganannya dengan cara konsultasi dan pemeriksaan pranikah, serta pemberian informasi tentang perilaku seksual agar punya pemahaman yang sama. Pasutri juga perlu mengikuti program pelatihan sebagai suami dan sebagai istri, khususnya untuk meningkatkan potensi seksual.